Friday 17 April 2015

SEJARAH SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

SEJARAH SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

    


   Jika kita membicarakan awal prosesi pengembangan Islam di Banten, pasti pikiran tertuju pada tokoh Maulana Hasanuddin penguasa Islam pertama. Sumber-sumber yang membicarakan tentang Maulana Hasanuddin sangat kaya baik melalui literasi lisan maupun babad, hikayat, dan riwayat. Namun dari sumber-sumber tersebut harus kita kaji dengan pendekatan ilmiah. Dalam tulisan ini, sedikit menggambarkan tentang riwayat Maulana Hasanuddin dengan berbagai aktivitasnya di Banten yang dikutip dari berbagai sumber. Pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Ratu Kawunganten putri dari Kerajaan Banten girang dilaksanakan pada sangkala  Brasta gempung warna tunggal 1480 saka 1478 M. Memilliki putra Hasanudin dan Ratu Winaon. Hasanuddin kecil dibawa ke Cirebon untuk mendapatkan pendidikan Islam dibawah asuhan ayahandanya. Hasanuddin baru diberangkatkan kembali ke Banten setelah umur 20 tahun untuk menjambangi kakek dan keluarga dari sang ibu yang tinggal di Banten Girang. Hasanuddin selama ada di Banten melakukan lawatannya ke berbagai tempat di kota-kota pelabuhan dan juga komunitas muslim dengan pengawal khusus Jongju. Selama menjalankan lawatannya, Hasanuddin mendapat respon yang cukup positif dari berbagai kalangan masyarakat, sehingga di beri gelar sabakinkin yang artinya banyak melakukan pertemuan dengan berbagai kalangan masyarakat.

       Kehadiran Hasanuddin menjadi buah bibir di masyarakat tatar Banten hingga terdengar di kalangan Ajar Domas (ajar masyarakat suci, domas delapan ratus) yang tinggal di puncak gunung Pulosari. Para Ajar Domas merasa resah, karena kehilangan simpatik dari penduduk Banten. Sementara Hasanuddin semakin melambung nama dan karismanya. Ini menyebabkan kecemburuan sosial, sehingga adu tanding kesaktian dengan Pucuk Umun Ajar Domas. Pucuk Umun  di sini seperti yang ditulis dalam sumber-sumber tua adalah pimpinan dari Ajar Domas, bukan Pucuk Umun Banten Girang. Karena Pucuk Umun Banten Girang merupakan kakeknya sendiri dari garis Ibu.

     Dalam catatan babad Banten nama Hasanuddin berjuluk Panembahan Maulana Hasanuddin dengan gelar Pangeran Sabakingking. Maulana Hasanuddin berangkat dari Cirebon menuju ke Banten atas perintah dari orang tuanya Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan dakwah Islam, dimana Banten pada saat itu di wilayah pesisir sudah di dominasi oleh penduduk muslim. Dalam catatan Tome Pirees pada.tahun 1511, Joao de Baross dan Diago do Caute pada tahun 1522 menginformasikan bahwa di Banten sudah banyak penduduk muslim yang hidup di wilayah kota-kota pelabuhan, disebutkan nama-nama pelabuhan yang ramai diantaranya Bantam (Banten), Pomdam (Pontang), Chiguede (Cigeci Salira Indah), Tamhara (Tanara) dan Calapa (Mauk), di daerah ini penduduk pribumi sudah menganut agama Islam.

     Hasanuddin yang juga sebagai cucu dari penguasa Banten Girang melakukan syiar Islam melalui kekuasaan politik birokrasi, sehingga di dalam babad dan literasi lisan yang berkembang di masyarakat menyebutkan Jongju (Mas Jong dan Agus Ju) disebut sebagai orang pertama masuk Islam. Hal ini bisa diterima karena kedua tokoh ini merupakan Ponggawa dari kekuasaan Banten Girang. Maulana Hasanuddin diserah terimakan kekuasaan Banten Girang dari Ratu Sanghiyang atau Surawisesa pada tanggal 1 Muharam 933 H jika dikonversi 8 Oktober 1526 M, bulan ini merupakan bulan suci bagi masyarakat singkretis atau disebut juga 1 Suro, dengan gelar Panembahan Surosowan. Sebelum penyerahan kekuasaan Banten Girang Hasanuddin terlebih dahulu menikah dengan putri dari penguasa Demak,  Trenggono,  bernama Pangeran Ratu (Ratu Ayu Kirana). Panembahan Surosowan adalah panembahan asal dari kata panyembah dengan arti yang patut disembah, sedangkan Surosowan adalah tokoh yang sebelumnya sudah memeluk Islam. Gelar yang disandang Hasanuddin, Panembahan Surosowan, artinya, orang yang patut disembah adalah Hasanuddin dengan ajaran Islam.

     Peralihan kekuasaan dari kekuasaan Sunda ke Hasanuddin mulai berkembang pesat bukan saja dalam proses islamisasi namun juga pedagang-pedagang asing dari berbagai mancanegara di kepulauan nusantara, Arab, Persia, Gujarat, India, Cina, Campa bahkan juga Eropa merasa nyaman tinggal dan hidup di bawah kekuasaan kesultanan Banten. Yang kemudian memindahkan pusat ibu kota pada tahun 1552 dari Banten Girang ke Banten Hulu (Banten Lama sekarang). Pemindahan pusat ibu kota tersebut agar mempermudah hubungan dagang dengan berbagai kerajaan-kerajaan yang melintasi Jalur Sutra yakni Laut Jawa, Laut Sumatra, Laut Cina hingga ke Timur Tengah.

        Setelah pembangunan keraton Surosowan, Maulana Hasanuddin langsung mendirikan Masjid Agung sebagai pusat pertemuan dan pengajaran agama Islam yang kemudian dilanjutkan pembangunannya oleh anaknya Maulana Yusuf yang dilengkapi dengan Menara. Dalam pembangunan masjid ini, Hasanuddin sudah menganalisis kemungkinan-kemungkinan terjadi perpecahan antar suku bangsa. Hal ini tercermin pada simbol-simbol bangunan yang mengakamodir ciri dari berbagai 


       bangsa dan agama, seperti mikhrob (tempat khutbah) yang berbentuk tandu para saudagar Cina, atap tumpang lima ciri arsitek bangunan suci penduduk lokal yang masih singkretis, simbol tiang dengan tepisan delapan di atas umpak batu berbentuk buah labuh (waluh) sebagai mandala pada ajaran Hindu-Budha, kesuburan tanah, serta simbol waktu dari budaya eropa dengan jumlah tiang berjumlah dua puluh empat di dalam dan di luar dua belas tiang. Keragaman budaya dari berbagai bangsa dan agama sejak kehadiran kekuasaan Hasanuddin sudah dijadikan sebagai simbol Banten yang pluralisme serta terbuka untuk siapapun. Dari keragaman itu sudah menjadi tradisi masyarakat Banten hingga kini.

0 comments:

Post a Comment